Wisata Pura : Pura Pulaki

     Pura Pulaki adalah salah satu nama pura yang berada di Kabupaten Buleleng. Letaknya di Desa Banyu Poh Kabupaten Grokgak ± 49km dari Kota Singaraja. Pura ini merupakan tempat pemujaan Sang Hyang Widhi dan Sri Patni Kaniten yang mencapai moksa salah satu dari pura Kahyangan Jagat dan Dang Kahyangan karena berkaitan dengan Danghyang Nirartha.
      


     Pura Pulaki berada di atas tebing berbatu yang menghadap ke laut dengan berlatar belakang bukit yang terjal. Pura ini dihuni oleh ratusan kera. Konon pura ini dibangun oleh Danghyang Nirartha pada pemerintahan Raja Gelgel, Dalem Waturenggong 1460 – 1552 Masehi.





   
 

    Di Pura Pulaki juga terdapat banyak monyet,sebagai daya tarik wisatawan yang berkungjung ke Pura ini. Banyak isatawan yang borpotret ria disini karena pemandangannya yang indah.

Wisata Pura : Wisata Makam Jayaprana



    Legenda percintaan pasangan Jayaprana dan Layonsari yang romantis namun berakhir tragis, menyisakan sebuah makam di Bali Barat. Situs makam ini tidak hanya menyimpan kisah sedih, tapi juga keindahan alam sekitar yang amat menawan.


Makam Jayaprana terletak di area Taman Nasional Bali Barat, tepatnya di Teluk Terima, Desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, sekitar 67 km sebelah barat Kota Singaraja. Karena letaknya yang berada di dalam taman nasional, tidak heran jika pemandangan di sekeliling makam pun amat indah. Makam ini memiliki pemandangan laut yang sangat membuai mata, karena itulah banyak orang yang datang berkunjung ke sana.

    Bisa dibilang, kuburan ini merupakan bangunan kisah romantis seperti cerita Romeo dan Juliet di Eropa atau Sampek Engthai di China. Jaya Prana dan Layon Sari adalah merupakan pasangan suami isteri yang sangat ideal pada masa Kerajaan Wanekeling Kalianget tempo dulu. Karena kecantikan Layon Sari, sang raja melakukan tipu muslihat agar Jaya Prana bisa disingkirkan.
Akhirnya, raja yang mengirim Jaya Prana ke Teluk Terima, Bali Barat,  untuk bertempur melawan bajak laut. Namun setibanya di Teluk Terima, Patih Sunggaling malah membunuh Jayaprana karena memang diutus oleh Raja.
Sepeninggal Jaya Prana,  Layon Sari yang tidak mau diperistri oleh raja memilih bunuh diri untuk menyusul suami tercintanya. Kuburan Jaya Prana – Layon Sari hingga kini biasa dikunjungi masyarat, khususnay setiap Bulan Purnama dan Bulan Mati (Tilem) dan hari – hari suci lainnya seperti Galungan, Kuningan, dan lainnya.


    Perjalanan menuju kuburan, didahului dengan pendakian yang panjang dan melelahkan tersebut. Akan tetapi semua  akan terbayar dengan pemandangan indah yang menunggu di atas. Suasana tenang akan menyapa sesaat setelah tiba di area makam. Karena letaknya yang lebih tinggi,  pengunjung bisa melihat Pulau Menjangan dari area pura. Bahkan, pengunjung  bisa melihat beberapa gunung di Pulau Jawa dari sana jika keadaan langit sedang cerah.
Makam yang memiliki tema warna kuning ini dikelilingi dengan patung yang berhubungan dengan legenda Jayaprana. Selain patung Jaya Prana, Layon Sari, raja dan patihnya, ada juga patung barong yang berlapis kain khas bali. Hiasan makam ini pun rapi dan terlihat cantik. Kain dan sesembahan yang ditata rapi membuat makam tersebut terlihat terawat. Wewangian dari dupa yang menyala pun menambah syahdu keadaan.


    Di tempat ini juga ada sebuah pura yang bisa dikunjungi. Untuk mencapai pura tersebut, memerlukan sebuah pendakian panjang dan curam tapi pemandangan di sekitarnya sangat menarik, sehingga semua kelelahan itu tidak sia-sia. Pemandangan selama menanjak pun menyenangkan. Pepohonan tinggi yang hijau namun tidak rimbun akan menemani langkah pengunjung. Ditambah lagi kehadiran monyet liar dengan tingkah laku uniknya, bisa jadi salah satu hiburan selama perjalanan.

    Kisah ini pun lantas menjadi kisah cinta yang begitu dramatik. Kini, makam Jayaprana disimbolkan sebagai seorang suami, yang begitu dicintai si istri, sekaligus  mencintai istrinya, banyak dikunjungi oleh wisatawan.
Tak hanya kisah cintanya yang mampu menyedot perhatian banyak orang, posisi makamnya yang indah karena memiliki pemandangan laut yang menawan membuat makam ini semakin diminati pengunjung.
Ketika berkunjung ke makamnya Jaya Prana, selain bisa mengenang kembali kisah romantis dan kesetiaan sang Layon Sari, juga untuk mematri kembali kisah cinta pengunjung bersama orang-orang tersayang tentunya.

    Semoga Objek Wisata ini menjadi salah satu referensi liburan anda bersama keluarga atau orang terdekat anda.

Wisata Pura : Pura Maduwe Karang


    Terletak di Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan ± 12 km sebelah timur Kota Singaraja, kurang lebih 1 km dari pertigaan Singaraja, Kubutambahan dan Kintamani. Pura ini tempat memohon agar tanaman di tegalan bias berhasil dan baik. Gugusan tangga mengantarkan pengunjung ke suatu areal luar pura (Jabaan) yang luas yang di bagian depannya dihiasi patung-patung batu padas, 34 jumlahnya, yang diambil dari tokoh-tokoh dan adegan-adegan cerita Ramayana.


    Lingkungan Pura Maduwe Karang adalah salah satu lingkungan Pura di Bali yang telah dikenal wisatawan mancanegara sebelum Perang Dunia Kedua. Di Jaman itu wisatawan mancanegara datang ke Bali melalui laut di Pelabuhan Buleleng. Di tempat ini sambil menunggu angkutan umum para wisatawan mempergunakan waktu untuk mengunjungi Lingkungan Pura Beji di Desa Sangsit, Lingkungan Pura Maduwe Karang di Desa Kubutambahan.Lingkungan Pura ini terdiri dari tiga tingkat yaitu Jaba Pura di luar lingkungan pura atau JabaanJaba Tengah, dan Jeroan, bagian paling dalam adalah yang paling disucikan. Dua buah tangga batu menanjak menuju Jaba Pura, yang di bagian depannya dihiasi patung-patung batu padas, tiga puluh empat jumlahnya, yang diambil dari tokoh-tokoh dan adegan-adegan ceritera Ramayana.


     Patung yang berdiri di tengah-tengah memperlihatkan Kumbakarna yang sedang berkelahi dan dikeroyok oleh kera-kera laskar Sang Sugriwa. Yang unik, pada bagian dinding di sebelah utara terdapat ukiran relief orang naik sepeda yang roda belakangnya terdapat daun bunga tunjung. Daya tarik lain adalah pahatan Durga dalam manifestasinya sebagai Rangda, dalam posisi duduk dengan kedua lututnya terbuka lebar sehingga alat kelaminnya jelas kelihatan. Tangan kanannya diletakkan di atas kepala seorang anak kecil yang berdiri di sebelah lututnya, kaki kanannya diletakkan di atas binatang bertanduk yang sedang berbaring. Pada bagian lain dari dinding lingkungan pura ini terdapat pahatan seorang penunggang kuda terbang dan pahatan Astimuka. Tokoh ini dilukiskan sama dengan Sang Hyang Gana (Ganesha), yakni dewa dengan muka gajah. Kungkungan Pura Maduwe Karang ini terletak di Desa Kubutambahan, 12 km sebelah Timur Singaraja.


      Yang unik, pada bagian bawah dinding disebelah utara terdapat ukiran relief orang naik sepeda yang roda belakangnya terbuat dari daun bunga teratai.


     Berdasarkan asal usul sejarah Pura Meduwe Karang, yang bersumber dari hasil studi dan penelitian sejarah Pura-Pura di Bali tahun 1981/1982 oleh pemerintah daerah Bali yang bekerjasama dengan Institut Hindhu Dharma (IHD) Denpasar, Pura Maduwe Karang, di bangun pada abad ke 19 Masehi, tepatnya pada tahun 1890 oleh para migrasi local, yang berasal dari Desa Bulian, sebuah Desa Bali Kuno, ke lokasi Desa Kubutambahan.
Sesuai dengan istilah yang dipergunakan , disebut Pura Maduwe Karang berarti yang memilikim Karang (memiliki lahan, yang berupa tanah tegalan) di Desa Kubutambahan, permukiman Baru migrant asal  desa Bulian. Sehingga dengan demikian , Pura Maduwe Karang berstatus dan berkedudukan sebagai Pura perlak (Pura subak abian) yang diempon , diemong, disungsung dan disiwi oleh karma Subak Kubutambahan yang asal-usulnya berasal dari imigran petani desa Bulian. Dengan kata lain Pura Maduwe Karang

Wisata Pura : Pura Bukit Sari Sangeh

      Pura Bukit Sari Sangeh terletak di tengah-tengah hutan pala di pulau Dewata Bali. Luasnya sekitar 10 hektar, dihuni  ribuan kera yang dikeramatkan. Demikian pula hutan pala. Hutan ini dianggap suci oleh masyarakat setempat dan terlarang untuk ditebang walaupun hanya satu pohon.

Selain Pura Bukit Sari Sangeh, ada lagi pura lain yang letaknya di tepi hutan ini. Menurut cerita masyarakat Bali Pura Bukit Sari Sangeh dibangun oleh Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, anak angkat dari raja Mengwi, yaitu Cokorde Sakti Blambangan.

     Mengwi merupakan sebuah kerajaan di Bali yang letaknya berdekatan dengan Sangeh. Lokasinya hanya sekitar 18 kilo meter dari Ibu kota Bali, atau sekitar 13 kili meter dari Sangeh. Di permukaan abad XVII, kerajaan Mengwi mempunyai wilayah sampai ke Blambangan, Jawa Timur.

  Sejak kecil anak Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti melakukan "Tapa rare" yang artinya ketika bertapa. Anak Agung bertingkah laku seperti bayi atau anak-anak. Ketika melakukan tapa inilah beliau konon mendapat ilham untuk membuat Pelinggih (pura) di hutan pala, Sangeh.

     Sejak itulah berdiri Pura Bukit Sari Sangeh sebagai tanda bekti keturunan Raja Mengwi terhadap Ida Batara di Gunung Agung. Tentang hutan pala, ada pula mitosnya sendiri. Mitos ini hidup di masyarakat . Ceritanya dikenal secara turun temurun.

    Tentang ribuan ekor kera yang dikeramatkan dan keberadaannya yang bergerak bebas di hutan pala, juga menyimpan kisah sendiri. Mitos yang berlaku mengatakan bahwa kera-kera suci itu merupakan penjelmaan para dewa.

    Kawanan kera tersebut cukup jinak. Tiap pengunjung yang baru datang kera-kera keramat tersebut selalu bersikap ramah. Ekspresinya tentu saja dengan menggelayutkan dirinya dibahu pengunjung. Inilah kira-kira alasannya mengapa tiap pengunjung yang masuk kawasan wisata tersebut dilarang untuk mengenakan berbagai perhiasan, seperti cincin, kalung, anting dan membawa makanan dari benda-benda lain yang sekiranya dapat menarik perhatian kera-kera tersebut untuk menjamahnya.

    Jika asesoris tersebut tidak diamankan terlebih dahulu, dikuatirkan akan dicomot sang kera dan tidak dikembalikannya lagi. Jika berhasil mendapatkan sesuatu dari pengunjung, sang kera biasanya membawa lari ke pohon yang nyaris bersosok tinggi semua.


    Kera akan bersikap jinak jika pengunjung memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Kalau tidak maka kebalikannya akan terjadi. Sang kera bisa marah dan melukai pengunjung. Dari ribuan kera yang menghuni hutan pala tersebut dipercayakan ada seekor kera berukuran besar yang menjadi pemimpin kera-kera lainnya. Kemunculan pimpinan ini jarang terjadi. Jika terjadi, hanya pada saat tertentu saja. Dan kehadirannya selalu ke Pura Bukit Sari Sangeh.

Wisata Liburan : Ulun Danu

   Pura Ulun Danu Beratan, atau yang kerap disingkat penyebutannya menjadi Pura Ulun Danu, merupakan pura terbesar di Bali setelah Pura Besakih. Nama pura ini merujuk pada lokasinya yang berdiri di tepi Danau Beratan. Lokasi pura ini cukup istimewa karena berada di dataran tinggi Bedugul, yakni sekitar 1.239 meter di atas permukaan laut (dpl). Kondisi yang demikian membuat lingkungan pura cukup sejuk, dengan temperatur udara antara 18-22 derajat celcius. Selain itu, lansekap Danau Beratan yang asri juga menambah suasana indah di tempat ini Sejarah pendirian Pura Ulun Danu Beratan dapat dilacak pada salah satu kisah yang terekam dalam Lontar Babad Mengwi. Dalam babad tersebut dituturkan mengenai seorang bangsawan bernama I Gusti Agung Putu yang mengalami kekalahan perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng. Untuk bangkit dari kekalahan tersebut, I Gusti Agung Putu bertapa di puncak Gunung Mangu hingga memperoleh kekuatan dan pencerahan. Selesai dari pertapaannya, ia mendirikan istana Belayu (Bela Ayu), kemudian kembali berperang melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan memperoleh kemenangan. Setelah itu, I Gusti Agung Putu yang merupakan pendiri Kerajaan Mengwi ini mendirikan sebuah pura di tepi Danau Beratan yang kini dikenal sebagai Pura ulun Danu Beratan.
     Dalam Lontar Babad Mengwi juga dikisahkan bahwa pendirian pura ini dilakukan kira-kira sebelum tahun 1556 Saka atau 1634 Masehi, atau sekitar satu tahun sebelum berdirinya Pura Taman Ayun, sebuah pura lain yang juga didirikan oleh I Gusti Agung Putu. Pendirian Pura Ulun Danu Beratan konon telah membuat masyhur Kerajaan Mengwi dan rajanya, sehingga I Gusti Agung Putu dijuluki “I Gusti Agung Sakti” oleh rakyatnya.
   Sebagai salah satu ikon pulau Bali, Anda pasti mengenal pura suci ini, setidaknya dapat melihatnya dari gambar uang kertas Rp50.000,00. Pura Ulun Danu Beratan berada di tepi Danau Beratan. Di depan halaman sebelah kiri dari Pura Ulun Danu Beratan terdapat sebuah sarkopagus dan sebuah papan batu yang berasal dari masa tradisi megalitik, sekitar 500 SM. Kedua artefak tersebut sekarang ditempatkan masing-masing di atas babaturan (teras). Diperkirakan bahwa lokasi Pura Ulun Danu Beratan telah digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan ritual sejak zaman megalitik.
Pura Ulun Danu Bratan ini terdiri dari empat bangunan suci, yaitu; Pura Lingga Petak dengan tiga tingkat “Meru” sebagai tempat pemujaan bagi dewa Siwa, Pura Penataran Puncak Mangu dengan 11 tingkat “Meru” sebagai tempat pemujaan dewa Wisnu, Pura Teratai Bang sebagai pura utama, dan Pura Dalem Purwa sebagai tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Trimurti. Pura Dalem Purwa ini berfungsi sebagai tempat memohon kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.
    Selain keindahan Puranya,  Danau Bratan merupakan salah satu tempat yang menjadi daya tarik wisatawan karena pemandanganya yang indah serta udaranya segar . Danau ini penting untuk irigasi. Danau Bratan dikenal sebagai danau "gunung suci", kawasan ini sangat subur, terletak pada ketinggian 1.200 meter, dan beriklim sangat dingin. Menurut mitos yang ada di masyarakat Bali, sebenarnya Danau Bratan ini merupakan danau yang terbesar di pulau Bali awalnya. Namun pada suatu ketika terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat dan akhirnya danau Bratan ini terbagi menjadi tiga bagian, Bratan, Tamblingan dan Buyan.


   Karena udaranya segar dan memiliki panorama yang indah, Ulun Danu menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Bali.

Wisata Liburan : Tanah Lot

     Tanah Lot adalah salah satu tujuan wisata yang banyak dikunjungi di  Bali. Tanah Lot terletak di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Berjarak  sekitar 14 km ke arah barat kota Tabanan. Tanah Lot merupakan salah satu dari Pura Dang Khayangan

      Tanah Lot dibangun di  dua tempat yang berbeda. Yang satu terletak di atas bongkahan batu besar, dan satunya lagi terletak di atas tebing yang menjorok ke laut. Tebing inilah yang menghubungkan pura dengan daratan dan bentuknya melengkung seperti jembatan.

        Di bawah Pura Tanah Lot, terdapat goa kecil yang didalamnya hidup beberapa ular laut yang mempunyai ciri-ciri berekor pipih seperti ikan, berwarna hitam berbelang kuning. Ular itu merupakan ular penjaga pura ini.

       Tempat lainya terkenal di Tanah Lot adalah pantainya yang indah. Pengelola Tanah Lot juga menyediakan lahan parkir yang luas untuk para wisatawan yang berkunjung ke Tanah Lot. Dari areal parkir pengunjung harus melewati jalanan setapak untuk menuju lokasi pantai. Harga tiket masuk untuk dewasa bagi wisatawan domestic adalah Rp 10.000 per orang, sedangkan anak-anak Rp 7.500.000 per orang. Berbeda dengan wisatawan domestic, harga untuk wisatawan luar negeri berbeda. Tiket wisatawan luar negeri untuk dewasa Rp 30.000 per orang, dan anak-anak Rp 15.000 per orang. Tiket masuk dibuka mulai pukul 07.00 – 19.00.

     
      Keindahan lainya di Tanah Lot bali adalah panorama sunsetnya yang indah, Menjelang sore hari wisatawan mulai berdatangan. Matahari yang beranjak tenggelam memperindah suasana. Pesona senja begitu mengesankan di Tanah Lot dengan adanya penampilan tari Kecak yang meramaikan suasana dan menambah keindahan pantai Tanah Lot. Wisatawan cukup membayar Rp. 50.000 per orang untuk menyaksikan tarian kecak yang ditarikan lebih dari 20 orang penari. Pertujukan ini dapat disaksikan mulai dari Pukul 17.30.


Panorama yang indah serta deburan ombak yang membuat jiwa tenang merupakan salah satu yang membuat Tanah Lot banyak dikunjungi, dalam suasana liburan, Tanah Lot sangatlah ramai pengunjung. Dan tidak ada salahnya anda berkunjung ke Tanah Lot pada saat liburan tiba.